Penulis cerita ini adalah beliau sendiri Dr. KH. Fadlolan Musyaffa
Setidaknya tiga kali saya khidmah kepada KH. Maimoen Zubair, tiap ke Mesir. Dalam ziarah ke tiga 2005, beliau saya agendakan ziarah wisata ke Luxor dan Aswan didampingi Ibu Nyai Heni Maryam, saya bawa ke Airport Cairo. Saat di ruang boarding tiba-tiba beliau membisiki saya:
Dalam hati saya berkata tidak mungkin, karena tiket pesawat sudah saya beli PP Ciro-Luxor-Cairo, berangkat pukul 07.00 kembali pukul 20.00. Biasanya kalau ziarah kemakam Imam Syadzili, mesti nginap, karena perjalanan tidak cukup pulang-pergi sehari semalam. Jarak tempuh Cairo Luxor +- 900 km dengan pesawat terbang, Luxor Humaisarah perkampungan Imam Syadzili +-400 km dengan jalan darat. Jalan sepi tidak begitu baik aspalnya. Maklum bukan jalur wisata turis. Yang paling aneh jalur ini tidak ada fasilitas kehidupan (tidak ada listrik, air, sinyal telpon, pom bensin, toilet, warung, dan lain-lain. Tidak ada sama sekali).
Siapa Imam Syaikh Asy-Syadzili? Syekh Abul Hasan Asy- Syadzili, dikenal juga Imam Syadzili, lahir di Ghumarah, Maroko, 1197 – wafat Humaitsara, Mesir, 1258) adalah pendiri Tarekat Syadziliyah yang merupakan salah satu tarekat sufi terkemuka di dunia. Ia dipercayai oleh para pengikutnya sebagai salah seorang keturunan Nabi Muhammad, yang lahir di desa Ghumarah, dekat kota Sabtah, daerah Maghreb (sekarang termasuk wilayah Maroko, Afrika Utara) pada tahun 593 H/1197 M. Nasab atau garis keturunan Abul Hasan Asy-Syadzili bersambung sampai dengan Rasulullah SAW.
Singkat cerita, saya harus berkata: Kita coba, jika bisa PP ya alhamdulillah, bila tidak bisa ya kita nginap di Luxor dan tiket pesawat kita hangus. Akhirnya si Fauzi menyetujui.
Saat kami pamitan, mau bayar warung, sungguh saling menjaga wirai, maunya yang punya warung tidak mau dibayar, tapi si Mbah KH. Maimoen Zubair, harus dibayar. Di situlah kekeramatan beliau terbaca oleh kami semua, terutama sopir saya amu/Lik Fauzi mulai kagum dan semakin percaya membawa seorang alim allamah yang sakti ini.
Lalu saya bergegas harus menyiapkan makan malam. Beliau pasti butuh kamar kecil untuk bersuci dan jamak salat Maghrib dan Isyak. Maka saya telepun hotel dekat airport yang bisa menyiapkan makan malam siap santap dan bisa ke kamar kecil dan mushalla.
Perjalanan 400 kilometer sungguh terlipat waktunya hanya 2,5 jam (padahal setiap saya jalan ke sana bila tidak bersama Syaikhona KH. Maimoen Zubair, antar 7-9 jam). Namun pukul 19.00 kami tiba di Luxor di sebuah restoran hotel, lalu kami makan malam seafood dengan cepat. Beliau memberi saya uang 300 pound Mesir, standar umum makan berempat sudah cukup. Ternyata totalan kasir harganya 750 pound Mesir. Si Mbah Maimoen Zubair melihat kalau saya menambahi banyak.
Ringkas cerita, beliau mendesak pertanyaan:
Sebelum sampai restoran, saya sempatkan telepon kawan inteligen wilayah Luxor untuk menunda pesawat terbang yang akan kami tumpangi, karena saya membawa seorang ulama besar dari Indonesia Syekh Maemun Zubair. Telat sekitar 30-45 menit, kami sudah dekat airport namun mau ke kamar kecil dan makan malam terlebih dahulu. Alhamdulillah pesawat didelay 30 menit. Perjalanan terlipat jauh lebih cepat, kami masuk airport tidak usah check in, langsung disambut kawan-kawan mabahist dauli (inteligen Negara Mesir) langsung dikasih boarding pass kami dan masuk pesawat tanpa urusan.
Saya curi pandang wajah beliau, ternyata air mata mengalir di pipinya, menangis tanda menyesali ucapan beliau yang menjadi doa kesedihan orang lain. Inilah waliyullah yang arif dan penyayang semua makhluk. Perjalanan ini tidak pernah bisa saya ulang seumur hidup ini.
Cerita ini sering disampaikan pada tamu-tamu yang sowan di ndalem Sarang, dan juga dalam banyak pengajian. Saat itu saya masih tinggal di Cairo Mesir. Banyak yang mendengar cerita ini, dan baru ketemu saya, sering ketemu orang yang kenalan, lalu tiba-tiba dia berkata: Oh ini tah yang namanya Fadlolan, yang sering diceritakan Syaikh Maemun Zubair.
Cita-citamu ingin wafat di Makkah, sehingga tiap tahun selalu naik haji. Dan kini Allah kabulkan. Harapanmu ingin wafat hari Selasa, sebagaimana ulama-ulama besar, kini Engkau wafat hari Selasa. Saya sedih kau tinggalkan, tapi demi cita-citamu ketemu Allah di hari dan tempat yang dicita-citakan, saya turut bahagia.
Itulah sekelumit kisah tentang Karomah KH Maimun Zubair. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah ini. (Mim)