Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional tersebut melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Undang-undang itu ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Dalam UU tersebut disebutkan bahwa seluruh daerah di NKRI yang ada sekarang ini harus dipertahankan dengan langkah apapun.
Baca juga: Jaga Papua dan Lawan Separatis
Namun meskipun begitu, untuk meredakan konflik di Papua dan Papua Barat, Mahfud MD meminta pemerintah mengutamakan dialog konstruktif dan persuasif. Ia khawatir, jika aksi massa dan kerusuhan di dua provinsi itu berlanjut, stabilitas nasional bisa terpengaruh.
Sebelumnya dalam sebuah diskusi di Hotel Sahid, Jakarta Pusat, Jumat, 23 Agustus 2019, pekan lalu, Mahfud mengatakan Papua secara sah adalah bagian dari NKRI. Karena itu, ia berharap sejumlah pihak tidak memprovokasi agar Papua dan Papua Barat berpisah dari Indonesia.
Untuk diketahui, TAP MPR Nomor VIII tahun 1998 telah mencabut TAP MPR Nomor IV tahun 1993 tentang Referendum. Kemudian lahir UU Nomor 6/1999 tentang Pencabutan UU Nomor 5/1985 tentang Referendum.
Dengan pencabutan ini, konstitusi maupun perundang-undangan di dalam sistem hukum Indonesia tidak mengakui atau mengenal lembaga atau model referendum.
Karena itu, menurut Mahfud, pemerintah Indonesia memiliki kedaulatan penuh untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Karenanya, wacana referendum untuk Papua lepas dari NKRI menurut tidak perlu ditanggapi pemerintah. Karena secara hukum tata negara itu tidak benar.
Wacana referendum untuk Papua lepas dari NKRI muncul menyusul insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya pada 16 Agustus 2019 yang berbuntut demonstrasi berujung rusuh di Papua dan Papua Barat sejak 19 Agustus 2019.
(Mus/News)